
KELIPING TENTANG PENDIDIKAN DI INDONESIA
Yang dibimbing oleh : Pak Ansori
OLEH : NURUL MAULIDIA
UPT SMA NEGERI 3 PASURUAN
DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA PASURUAN
HASIL PENELITIAN
Tepat Tanggal 28 Oktober 2008 kita memperingati hari Sumpah Pemuda, Dengan membaca tulisan yang saya ambil dari Wikipedia ini mungkin kita dapat membayangkan apa yang diinginkan sumpah pemuda yang diadakan pada tanggal yang sama di tahun 1928.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, ketua PPI Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola (dimainkan dengan biola saja atas saran Sugondo kepada Supratman). Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres.

POTRET HASIL PENDIDIKAN INDONESIA 2009
KUALITAS MINIM, DAYA SAING RENDAH
Beberapa waktu yang lalu, UNDP (United Nation Development Program) atau Badan PBB yang menangani masalah pendidikan mengeluarkan data tentang peringkat Negara-negara dunia berdasarkan daya saing kualitas sumber daya manusia tahun 2007 atau Human Development Index 2007. Dari 177 negara yang diteliti, Indonesia menduduki peringkat hampir terakhir yaitu di posisi 107. Artinya kualitas daya saing sumber daya manusia Indonesia sangat rendah di pasar internasional. Data hasil UNDP ini tentu memprihatinkan bagi masyarakat Indonesia. Apalagi AFTA akan segera diberlakukan dan daya saing tenaga kerja Indonesia dinilai dimata dunia masih tergolong rendah. Kualitas daya saing bangsa masih kalah dengan Negara tetangga Malaysia dan Singapura yang menduduki peringkat di kurang dari seratus. Data yang dikeluarkan UNDP ini sekilas dapat menjadi potret evaluasi hasil pendidikan di Indonesia saat ini. Meskipun data ini masih perlu dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan hasil data yang lebih akurat. Saat masa 100 tahun umur kebangkitan nasional dipijak, pendidikan sumber daya manusia di Indonesia masih memprihatikan.
Kenyataan bahwa kualitas pendidikan yang diperoleh masyarakat minim sehingga menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing rendah, seharusnya lebih memacu pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan sebagai program utama perbaikan Negara. Pemerintah seharusnya lebih tergerak untuk memfasilitasi peningkatan pendidikan dan menggerakkan masyarakat untuk memperoleh pendidikan berkualitas. Beban angka pengangguran yang sangat tinggi di Indonesia akan semakin bertambah karena daya saing SDM Indonesia yang rendah. Investasi dari luar negeri pun akan menurun karena kualitas pendidikan minim, sehingga upah para tenaga kerja pun sangat rendah. Dampak yang lebih memprihatinkan akibat rendahnya daya saing SDM Indonesia adalah terjadinya kebangkrutan Negara saat pemberlakuan pasar bebas globalisasi nanti.
Perhatian ekstra Pemerintah pada bidang pendidikan di Indonesia masih minim. Pendidikan belum menjadi prioritas utama. Sehingga fasilitas yang diberikan Pemerintah sampai sekarang masih minim. Pada awal reformasi bergulir, ada secercah harapan pendidikan di Indonesia menjadi perhatian utama dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 49 ayat (1) menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran pendapatan belanja nasional (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Namun tanpa diduga muncul undang-undang baru dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang menguji Pasal 49 ayat (1) UU No.20/2003 tentang Sisdiknas. MK memutuskan bahwa dana pendidikan selain biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sector pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Konsekuensi dari keluarnya keputusan MK ini, antara lain menyebabkan terbatasnya anggaran peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Karena anggaran pendidikan tersebut dipergunakan untuk kepentingan yang lebih banyak meliputi kebutuhan biaya untuk kualifikasi akademik guru menjadi minimal strata satu, tunjangan-tunjangan guru, biaya investasi rehabilitasi gedung yang rusak, pengadaan sarana pendidikan dan peningkatan pelayanan pendidikan. Semakin minimnya anggaran pendidikan yang dialokasikan Pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan MK tersebut di atas mengakibatkan masyarakat kembali harus memikul beban biaya operasional pendidikan yang tidak sedikit untuk memenuhi semua kebutuhan yang mendukung terwujudnya pendidikan bermutu. Kondisi ini cenderung berakibat pada terbatasnya akses pendidikan untuk semua kalangan masyarakat, terutama kalangan masyarakat kurang beruntung, angka putus sekolah meningkat, presatasi belajar peserta didik cenderung sulit diperbaiki, dan sebagainya.
Persoalan minimnya kualitas pendidikan dan rendahnya daya saing SDM Indonesia semakin serius, ditengah kondisi ekonomi masyarakat pasca naiknya BBM yang akan diberlakukan dalam waktu dekat ini. Beban hidup masyarakat semakin berat dan beban Negara semkain bertambah. Padahal kualitas unggul SDM Indonesia agar berdaya saing tinggi sangat mendesak dibutuhkan mengingat bangsa Indonesia harus memenuhi rumusan Millennium Development Goals (MDG) pada tahun 2015. Jika pendidikan tidak juga menjadi prioritas utama dan keputusan MK tentang Sisdiknas ini tidak dikaji ulang maka bukannya tidak mungkin kualitas pendidikan semakin terabaikan, banyaknya keberadaan SDM tidak kompetitif, dan kesejahteraan masyarakat tidak dapat diwujudkan. Pada akhirnya cita-cita pembangunan nasional untuk mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan rakyat secara keseluruhan semakin sulit dicapai. Pengkajian keputusan MK tentang Sisdiknas ini sangat mendesak untuk dilakukan. Apalagi keluarnya keputusan MK tentang Sisdiknas ini lebih berkesan menyelamatkan lembaga eksekutif dari pelanggaran UUD 1945, padahal dalam kenyataan prakteknya keputusan ini kontraproduktif.
Selain masalah prioritas dan anggaran, sistem penjaminan mutu pendidikan di Indonesia terutama pendidikan tinggi sekarang ini masih bersifat insidental/sporadis/tidak berkelanjutan dan pada umumnya tidak dilakukan dengan kesadaran penuh. Akibatnya, strategi penjaminan mutu yang dilakukan pemerintah, diantaranya penetapan pedoman penjaminan mutu pendidikan tinggi dari Ditjen Dikti belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Kondisi ini sebagai akibat langsung dari sentralisasi pengelolaan pendidikan tinggi yang selama ini dilakukan. Dimana sebagian besar masyarakat behkan pengelola perguruan tinggi masih berpandangan, suatu program studi dianggap bermutu hanya jika mendapat pengakuan dari Pemerintah atau badan akreditasi yang diselenggarakan Pemerintah. Oleh karenanya sistem penjaminan mutu pendidikan khususnya pendidikan tinggi perlu diperbaiki pengeloalaannya, serta masyarakat dan pengelolan lembaga pendidikan perlu disadarkan dan diarahkan untuk mengembangkan pendidikan yang bermutu dan dapat berdaya saing di pasar internasional. Cita-cita mencedaskan bangsa dapat terwujud jika Pemerintah memprioritaskan pendidikan sebagai program utama dengan bersungguh-sungguh memfasilitasi operasional pendidikan, pengelola lembaga pendidikan melaksanakan tugas mendidik dan transfer ilmu secara terarah dan terencana , dan masyarakat secara sadar dan mandiri mampu mengkases pendidikan untuk meningkatkan kualitas produktivitasnya sendiri. Situasi persaingan global saat ini, kesadaran akan kualitas atau uality consciousness harus ditanamkan secara dini kepada masyarakat. Karena dalam situasi persaingan yang semakin ketat ini, sumber daya makin terbatas, perkembangan teknologi maupun perilaku konsumen yang berubah dengan cepat, maka kualitas menjadi senjata dalam memenangkan persaingan.
KESIMPULAN :
Pendidikan di Indonesia ternyata masih memprihatinkan semestinya pemerintah lebih memperhatikan masalah tersebut karena mereka adalah generasi penerus bangsa yang harus memiliki pendidikan yang layak dan pantas.